Sesungguhnya
manusia diciptakan bersifat haluu'a (keluh kesah lagi kikir). Apabila ia
ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan, ia amat
kikir. Kecuali, orang-orang yang mengerjakan salat. Yang mereka itu tetap
mengerjakan salatnya. Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian
tertentu. Bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai
apa-apa (yang tidak mau meminta). (Al-Ma'aarij: 19--25).
Manusia
cenderung bersikap haluu'a. Apakah itu? Ia ditafsirkan dengan dua ayat
berikutnya (20--21): sebuah perangai buruk suka berkeluh kesah lagi kikir.
Ketika ia tertimpa kesulitan, hatinya terasa sempit, goncang, dan mudah
berputus asa. Ketika beroleh nikmat dan kebaikan, ia bersikap kikir. Yaitu,
kikir dari hak Allah dan kikir dari hak sesama.
Tentu tidak
semua manusia berperilaku demikian. Seorang muslim semestinya tidak haluu'a,
mengapa? Karena, seorang muslim itu ajeg menjaga salatnya. "Kecuali
orang-orang yang mengerjakan salat, yang mereka itu tetap mengerjakan salatnya
(daimun)." Dengan salat, hati menjadi tenteram. Juga, dengan salat
perbuatan keji dan mungkar dapat ditahan. Maka, seorang mukmin yang salatnya ajeg
dan benar, ia tidak gampang berkeluh kesah. Karena, kesulitan atau kemudahan
baginya mengandung hikmah. Sebagian sahabat bahkan memandang kesulitan sebagai
nikmat, seperti perkataan Abu Dzar al-Ghifari, "Miskin lebih aku sukai
daripada kaya, dan sakit lebih aku sukai daripada sehat."
Seorang
muslim semestinya tidak haluu'a, mengapa? Karena, seorang mukmin
menyadari pada hartanya ada hak bagi orang yang meminta (as-sail) dan
orang yang tidak mempunyai apa-apa (al-mahruum). "Dan
orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin)
yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa." As-sail adalah
orang yang meminta. Terhadap orang semacam ini terdapat hak bagi dia, seperti
dalam sabda Rasulullah saw., "Bagi orang yang meminta-minta terdapat
hak, meskipun ia datang mengendarai kuda." (HR Abu Dawud dari hadis
Sufyan ats-Tsauri, dalam riwayat lain disandarkan kepada Ali bin Abu Thalib).
Adapun al-mahrum,
seperti didefinisikan Ibnu Abbas, adalah orang yang bernasib buruk. Ia tidak
memiliki bagian dalam baitul mal, tidak memiliki pendapatan, dan tidak memiliki
pekerjaan yang dapat menopang. Rasulullah pernah bersabda, "Orang
miskin bukanlah orang yang keliling dan engkau memberinya sesuap atau dua suap
makanan dan sebutir atau dua butir kurma, akan tetapi orang miskin adalah orang
yang tidak memiliki kekayaan yang mencukupinya sedangkan orang lain tidak
mengetahuinya sehingga bersedekah kepadanya." (HR Bukhari dan Muslim).
Jadi,
seorang muslim semestinya dermawan, tidak kikir dan tidak bakhil. Karena,
seorang muslim senantiasa merenungkan ayat-ayat Allah, seperti dalam ayat
berikut.
Dan
belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang
kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: 'Ya Rabku,
mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan
aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh." (Al-Munafiqun: 10).
Suatu ketika
Rasulullah saw. bertanya kepada para sahabatnya, "Manakah yang lebih
kalian cintai: harta ahli waris atau harta sendiri?" Mereka menjawab,
"Wahai Rasulullah, tentu tidak seorang pun di antara kita kecuali lebih
mencintai hartanya sendiri." Rasulullah meneruskan, "Sesungguhnya
harta seseorang ialah apa yang telah ia gunakan, dan harta ahli waris adalah
apa yang belum ia gunakan." (HR Bukhari).
Abu Bakar
al-Jazairi menceritakan sebuah kisah yang mengagumkan di dalam Minhajul
Muslim Dikisahkan bahwa Ibunda Aisyah r.a. mendapat kiriman uang sebanyak
180.000 dirham dari Muawiyah bin Abi Sufyan. Oleh beliau uang itu disimpan di
mangkuk dan dibagikan kepada manusia hingga tak tersisa. Pada sore harinya,
Aisyah berkata kepada budak wanitanya, "Antarkan makanan berbuka
untukku." Budak wanita tersebut menghidangkan roti dan minyak kepada
Aisyah. Beliau berkata kepada budak, "Mengapa engkau tidak mengambil uang
satu dirham dari uang yang aku bagikan tadi buat membeli daging untuk buka
puasa kita?" Budak tersebut menjawab, "Jika engkau mengingatkanku
sejak tadi, aku pasti melakukan."
Dalam
kekiniian, betapa banyak kita temukan dua tipe masusia di atas. Tipe orang muskin
meminta-minta karena kondisi memaksa, juga tipe orang yang tidak memiliki
kekayaan, penghasilan, pekerjaan, namun ia enggan untuk meminta. Terhadap tipe
pertama, akan lebih mudah bagi kita untuk mengetahuinya, namun terhadap tipe
kedua, diperlukan sedikit perhatian untuk mengetahuinya. Di sinilah perlunya
sikap peka terhadap lingkungan. Budaya modernisme sering berdampak pada
menjadikan orang berperilaku egois, tidak mengenal tetangga, tidak mengenal
lingkungan. Setiap hari ia makan enak, namun ia tidak mengetahui bahwa
orang-orang di sekitarnya tengah kelaparan.
Terlebih al-mahrum,
tidak mesti mereka kelompok marginal yang tidak mampu bekerja. Kadang mereka
kelompok profesional yang tidak tertopang situasi dan sarana yang mendukung
untuk bekerja, seperti tidak adanya lapangan pekerjaan atau tertimpa bencana
perang. Dalam konteks ini, perlu aktualisasi kedermawanan bagi muslim yang
"kuat", tentu tidak sekadar berpikir memberi ikan, melainkan harus
juga berpikir bagaimana memberi kail. Wallahu a'lam bish-shawab
0 komentar:
Posting Komentar